Penulis: Tokoh Pers Nasional Sutan Syahril Amga, SH, MH
-Studi banding hakikatnya adalah belajar membanding-bandingkan. Membandingkan daerah kita dengan daerah tempat yang dijadikan studi banding. Yang dibandingkan itu mulai dari kemajuan daerah tempat studi banding sampai kepada sumber pendapatan daerah dan bagaimana tingkat kesejahteraan masyarakatnya.
Hal tersebut disampaikan oleh Tokoh Pers Nasional Sutan Syahril Amga, SH, MH, Kamis (06/02/2025) kepada awak media di Batusangkar. Mengatakan Yang biasa melakukan studi banding itu adalah anggota Legislatif dan ditambah dengan sejumlah pihak eksekutif. Hasil dari studi banding itu oleh legislatif adalah sebagai dasar hukum dalam mendesak eksekutif agar melakukan sesuatu untuk meningkatkan pendapatan daerah. Dewasa ini tidak wakil rakyat saja yang melakukan studi banding, sudah berbagai unsur masyarakat yang melakukan kegiatan tersebut.
Tidak terkecuali wartawan juga sudah melaksanakan studi banding. Termasuk wartawan kabupaten Tanah Datar. Namun syarat untuk ikut studi banding itu harus memberikan 150 kliping berita kepada Kominfo, begitu yang digariskan Pemda setempat. Tujuan Studi banding tentu saja sama-sama membanding-bandingkan.
Akhir-akhir ini biaya studi banding bagi wartawan tersebut yang disahkan DPRD setempat dikabarkan Rp.470 juta. Namun apa hasilnya, menurut diantara wartawan balik bertanya, oleh anggota DPRD apa pula hasil studi bandingnya yang bisa dikata kan tiap tahun melakukan study banding.
Yang tidak memberikan kliping 150 berita kepada komimfo tidak diikutkan mela kukan study banding kemanapun. Karena study banding itu dengan biaya dari APBD, begitu realitanya. Sesungguhnya Study banding itu ke-kota dan Provinsi lain adalah untuk mendapatkan bahan atau informasi yang bermanfaat bagi kemajuan daerah yang melakukan studi banding.
Untuk mendapatkan bahan yang dibutuhkan maka setiap yang melakukan studi banding melakukan pengamatan dan bertanya jawab dengan aparat/pejabat tempat studi banding itu. Pejabatnya tentu saja adalah sarjana dan intelektual. Karena aparat itulah yang menguasai berbagai data dan fakta.
Yang tidak pernah mengkliping berita sebagaimana yang diwajibkan oleh Pemda tidak diikutkan melakukan studi banding. Studi bandinglah ke-hutan, berwawancaralah dengan yang ada di hutan. Di hutan disamping melakukan pengamatan juga melakukan tanya jawab dengan orang yang ada di hutan itu.
Atas studi banding ke hutan diketahui lah bahwa Sawit dewasa ini sebagai tanaman primadona dalam meningkatkan ekonomi, pertama rakyat peserta. Dari hasil tanya jawab itu diperoleh informasi tidak ada peserta tanaman kelapa Sawit yang miskin justru penghasilan bersihnya tidak ada yang di bawah Rp.2 juta perbulan/Ha.
Namun sawit itu tidak obahnya bagaikan Singa tanaman. Karena itu dimana tanaman Sawit disana tumbuh-tumbuhan yang lain mati dan pupus, bahkan mata air pun lenyap di buatnya.Tanaman Sawit itu dapat dipanen tiap 15 hari sekali dan diberi makan pupuk Granular secukupnya. Umur Sawit itu mencapai 26 tahun. setelah 26 th harus dimusnakan. Sesudah itu ditanam kembali yang disebut dalam istilah peserta Sawit, diremajakan kembali.
Akan tetapi setelah dua (2) kali tanam Sawit, tanah bekas tanaman sawit itu hilang humusnya. Seiring dengan itu diketahui pula ratusan pemilik kendaraan bermotor yang tidak melakukan kewajibannya. Baik atas lampu kendaraannya, maupun perlengkapan kendaraannya yang lain, bahkan plat nomornya (Nopolnya) tidak ada dipasang. Malah bunyi knalpotnya keras dan itu lumrah kendaraan di dalam hutan namanya.
Menurut informasi yang diperoleh, knalpot berbunyi keras itu untuk menghilang kan rasa takut. Sebab di hutan sawit yang binatang liar tetap banyak berkeliaran. Dengan kerasnya bunyi knalpot binatang itu akan menghindar dari kita, jelas narasum ber kepada penulis.
Atas hasil studi banding itu, juga menunjukan ratusan pemilik kendaraan yang tidak membayar kewajibannya atas pajak. Walaupun pajak itu akhirnya untuk kita juga, begitu yang diperoleh dari studi banding kebeberapa hutan sawit di Provinsi Sumatera Barat.
Provinsi Sumatera Barat memiliki sejumlah kabupaten yang memiliki hutan sawit. Diantaranya, kabupaten Pasaman, Agam, Solok Selatan dan kabupaten Dharmasraya yang dapat dideteksi penulis. Bahkan memang itu diantaranya yang menjadi pilot projek dari penulis. Disamping itu juga ada Provinsi lain yang kabupatennya mempunyai hutan Sawit. Apakah itu provinsi Jambi, Bengkulu, Lampung, Sumsel, Kalteng, Kaltim dan lain-lainya.
Pada Provinsi lain yang punya hutan sawit itu juga belum tertutup kemungkinan keberadaan kendaraan bodong. Bukan sekedar bodong melainkan juga pemiliknya tidak melunasi kewajibannya. Baik terhadap perlengkapan kendaraannya, maupun tentang kewajiban pemiliknya membayar pajak tersebut.
Sekedar yang menyangkut pajak kenda raan yang tidak dibayar pemiliknya. Yang tentunya menuntut petugas pajak menagih tunggakan pajak itu. Namun untuk masa mendatang bagi daerah tertentu yang warganya membeli kendaraan bermotor, bisa saja dalam menghindari tunggakan membebankan pajak untuk 4 tahun. Itu baru yang dapat dikemukakan penulis atas studi banding ke dalam hutan.
Demikianlah reportase pendek sebagai kewajiban dari studi banding ke dalam hutan. Semoga. (**)
Mailis
Tags:
Tanah datar