Realitakini.com - Aceh Tenggara.
Al Mujawadin, aktivis mahasiswa Fakultas Tehnik Universitas Gunung Leuser (UGL), mengecam Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara atas paket pekerjaan tapal batas yang diduga asal jadi.
Ia menyebut bahwa pekerjaan tapal batas Desa, terindikasi ada celah praktik korupsi yang dilakukan oleh pelaksana proyek.
“Kami selaku sosial control menilai pengerjaan swakelola ini ada cela korupsi, mengacu pada PERMENDAGRI No.45 tahun 2016 tentang pedoman penetapan dan penegasan batas Desa,” jelasnya AI, Sabtu 09/05/2020.
Sementara itu dalam UU Desa bahwa 9. Desa adalah Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari pemetaan Batas wilayah Desa yang dinyatakan dalam bentuk Peta Desa ditetapkan dengan peraturan Bupati/Walikota. Pasal 17 UU Desa, mengamanatkan bahwa Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa diundangkan setelah mendapat nomor registrasi dari Gubernur dan kode Desa dari Menteri disertai Lampiran Peta Batas Wilayah Desa.
Selain masalah tanah dan perbatasan desa adalah masalah agraria atau pertanahan namun yang mengeluarkan pedoman penetapan dan penegasan batas Desa.
Mencakup dari hasil peraturan tersebut bahwa pemetaan desa bukan hanya berbentuk gambar tetapi melihat dari perspektif yang ada di desa tersebut.
Pihak pelaksana (STH) ketika di konfirmasi menjelas kepada mahasiswa bahwa pengerjaan ini dikerjakan oleh tenaga teknis yang ahli di bidangnya.
“Jika abang sebagai tim teknis untuk kelegalan tim ini, lalu bagaimana sistem pengerjaan GIS ini, seperti apa setau kami GIS ini harus di kerjakan oleh lembaga yang resmi atau lembaga yang ditunjuk dan sudah terakreditasi. Selain itu harus sesuai dengan aturan yang di keluarkan mendagri serta melibatkan penetapan dan penegasan batas desa (PPB) desa pusat dan PPB desa provinsi dan PPB Desa Kabupaten/Kota, artinya jika melibatkan stekholder ini tidak bisa di kerjakan secara sederhana,” pungkas Mufti.(Pardi)
Tags:
Aceh Tenggara