Realitakini.Com-Padang
Alhamdulillah
gubernur juga telah melayangkan surat ke Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Untuk itu kami para nelayan Bagan mengucapkan terimakasih pada gubernur Sumbar
dan pihak terkait yang telah mengizinkan nelayan Bagan diatas 30 GT untuk
melaut lagi enam bulan kedepan, " kata Delma ,Kamis ( 30/3)
Delma Anggota DPRD Padang Delma Putra, juga
selaku pemilik kapal Bagan serta tokoh masyarakat Pasia Nan Tigo Kecamatan Koto
Tangah Sumatera Barat menyampaikan, melalui kebijakan serta rapat koordinasi
antara gubernur Sumbar dengan pihak terkait telah ada kesepakatan bahwa nelayan
bagan diatas 30 GT sudah diizinkan kembali melaut dalam waktu enam bulan
kedepan
. lebih lanjut ia menyampaikan
saat ini nelayan Bagan Sumbar masih terkendala mengenai aturan Permen 71 tahun
2016. Untuk Surat Izin Usaha Penangkapan (SIUP) yang dikenakan biaya sebesar Rp
35 ribu per GT untuk Bagan diatas 30 GT tiap tahunnya, memang kami dapat
membayar hingga mencapai Rp 2,1 juta
.Namun paling
memberatkan adalah terkait Pajak Hasil Penangkapan (PHP). Pajak yang ditetapkan
adalah Rp412 ribu per GT. Artinya, nelayan yang memiliki kapal bagan dengan
berat 30 GT, harus membayar pajak mulai dari Rp12 juta, untuk 60 GT bisa
mencapai Rp25 juta.
Ia mengatakan kapal kami bukanlah kapal Kargo, bukanlah kapal tambangan yang dikelola oleh perusahaan besar. Bagan bersifat pribadi yang juga mempunyai resiko kerusakan dalam setahun dengan waktu cukup lama untuk memperbaikinya. "Jika perbaikan Bagan mencapai dua hingga tiga bulan maka selama itu juga nelayan tidak melaut dan tentu saja tak ada penghasilan, " pungkasnya. Pajak hasil tangkapan ini, harus dibayarkan diawal untuk mendapatkan izin dengan masa berlaku satu tahun. Jadi setiap tahun nelayan harus membayarkan pajak hasil tangkapan sebelum melaut. Dalam hal ini para pemilik bagan bersedia membayar pajak, tetapi pajak yang ditetapkan terlalu besar dan sangat memberatkan.
Ia mengatakan kapal kami bukanlah kapal Kargo, bukanlah kapal tambangan yang dikelola oleh perusahaan besar. Bagan bersifat pribadi yang juga mempunyai resiko kerusakan dalam setahun dengan waktu cukup lama untuk memperbaikinya. "Jika perbaikan Bagan mencapai dua hingga tiga bulan maka selama itu juga nelayan tidak melaut dan tentu saja tak ada penghasilan, " pungkasnya. Pajak hasil tangkapan ini, harus dibayarkan diawal untuk mendapatkan izin dengan masa berlaku satu tahun. Jadi setiap tahun nelayan harus membayarkan pajak hasil tangkapan sebelum melaut. Dalam hal ini para pemilik bagan bersedia membayar pajak, tetapi pajak yang ditetapkan terlalu besar dan sangat memberatkan.
Kemudian persoalan yang
juga dianggap membatasi ruang gerak nelayan dalam mengusahakan penangkapan ikan
di perairan laut Sumbar yakni pembatasan ukuran lampu nelayan di atas 30 sampai
60 GT. Saat ini, lampu nelayan rata-rata berkekuatan 30 ribu watt. Sementara,
Permen KP 71 ini mensyaratkan hanya 2 ribu watt saja
.Begitu juga halnya
mengenai penggunaan alat tangkap yang dibatasi. Ukuran mata jaring jadi 2,5
inchi atau sekitar 63 mm dari sebelumnya 4 mm (jenis waring). Kalau menggunakan
jaring ukuran 2,5 inchi itu, maka ikan-ikan yang selama ini dikonsumsi warga
Sumbar tak bakal tersangkut jaring. Kondisi ini tentunya akan merugikan nelayan
dengan hasil tangkapan yang tak maksimal."Lebihlanjut kata Delma, nelayan
akan terus koordinasi dengan pemerintahan dan pihak terkait serta bermohon pada
gubernur serta dinas terkait agar bisa memperjuangkan nelayan Bagan Sumbar
semaksimal mungkin. Karena kami nelayan Bagan adalah nelayan tradisional sejak
dahulunya dan nelayan bagan di Indonesia hanya ada dipulau Sumatera, khususnya
di Sumetera Barat. Hal ini harusnya bisa diperjuangkan, diakomodir menjadi
kearifan lokal pemerintah setempat. "harapannya.
Sementara Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar, Yosmeri menyampaikan, semua aspirasi nelayan ini telah disampaikan gubernur Sumbar ke Kementerian Kelautan dan Perikanam dan pejabat terkait lainnya Diungkapkan Yosmeri, dalam skala nasional, ada sejumlah kapal yang tak terakomodir dalam Permen KP 71 ini. Yaitu, kapal pukat cincin yang merupakan kearifan lokal nelayan Sumut, Bagan (Sumbar) dan Jantrang (Jawa Tengah). "Seharusnya, pusat mengakomodir jenis kapal yang jadi kearifan lokal masyarakat nelayan ini. Namun, hal itu masih belum terakomodir. Sementara, UU pemerintah daerah yang baru juga hanya membatasi kapal nelayan berdasarkan bobotnya (30 GT)
Diakui Yosmeri, pajak
hasil perikanan berdasarkan aturan baru ini juga dirasa memberatkan nelayan.
"Dulunya, pajak yang disetorkan hanya senilai Rp4 ribu per GT sedangkan
saat ini jadi Rp412 ribu per GT untuk kapal ukuran diatas 30 GT. Saat ini, ada
300 unit bagan yang masuk kategori diatas 30 GT ini. Baru sebagian di antaranya
yang mengantongi izin. Ini juga jadi persoalan tersendiri," katanya.(Wt*)
Tags:
Padang